Nama : M.Riky Noerifahmi
Kelas : 4EB21
NPM : 29211248
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi
mengalami perubahan yang cukup besar. Bank kini merupakan lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menjadi penghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Dengan kata lain bank
merupakan lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya memberikan kredit serta
jasa-jasa dalam setiap kegiatan pembayaran dan peredaran uang.
Bunga merupakan hal penting bagi
suatu bank dalam penarikan tabungan dan penyaluran kreditnya. Penarikan
tabungan dan pemberian kredit selalu dihubungkan dengan tingkat suku bunganya.
Bunga bagi bank bisa menjadi biaya (cost
of fund) yang harus dibayarkan kepada penabung, tetapi di lain pihak dapat
juga merupakan pendapatan bank yang diterima dari debitor karena kredit yang
diberikannya.
Besarnya bunga ini adalah selisih
yang dikembalikan dengan yang dipinjam. Misalnya dipinjam dari bank sebesar Rp
500.000,00 untuk kemudian dikembalikan sebesar Rp 525.000,00. Jadi, besarnya
bunga adalah Rp 525.000,00– RP 500.000,00 = Rp 25.000,00 atau sebesar 5%.
Dalam dunia perbankan sering kali
kita mendapat masalah atau keluhan oleh nasabah mengenai tingkat bunga yang
berlebihan atau tergolong tinggi. Faktor yang mempengaruhi suku bunga ini
disebabkan oleh Bank Indonesia sedang menerapkan
kebijakan rezim suku bunga tinggi. Sinyal itu terlihat jelas ketika BI dengan
lebih cepat menaikkan suku bunga hingga 175 basis poin menjadi 7,5%. Bahkan,
respons pasar pun sepertinya sangat berlebihan, karena bank-bank merespons
dengan cepat dengan menaikkan suku bunga simpanan yang lebih tinggi.
Bank-bank percaya bahwa
BI melakukan tight money policy, kebijakan uang ketat. Kebijakan BI dibawah Gubernur
Bank Indonesia Agus Martowardojo adalah menggunakan kenaikan suku bunga, hal yang
berbeda dibandingkan ketika zaman Darmin Nasution yang menginginkan suku bunga
rendah dengan melakukan intervensi. Lihat saja, belakangan ini BI lebih
membiarkan rupiah menuju keseimbangan baru dengan menaikkan suku bunga dan
tanpa melakukan banyak intervensi. Sementara kebijakan sebelumnya lebih banyak
menggunakan masuk ke pasar agar rupiah tidak bergerak liar dan membiarkan suku
bunga rendah.
Namun, kebijakan BI dengan menaikkan
suku bunga ini tidak salah obat, karena dengan kebijakan suku bunga tinggi ini
efeknya adalah dengan melakukan pengereman kredit, sehingga tidak dibuat
spekulasi dan sekaligus secara tidak langsung dapat membatasi impor yang selama
ini juga menjadi beban berat neraca perdagangan Indonesia. Bank Indonesia
berkeyakinan dengan membatasi kredit secara tidak langsung membatasi impor,
karena semakin besar pertumbuhan ekonomi ternyata juga membuat posisi impor
juga tinggi.
Jadi, kebijakan ini dilakukan untuk
mengerem laju pertumbuhan dan pada akhirnya juga akan memperkecil defisit
transaksi perdagangan yang pada akhirnya mengurangi defisit transaksi berjalan.
Hanya, yang perlu diwaspadai adalah masih tetap tingginya impor bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Impor BBM sepertinya sulit dibatasi karena sejalan
dengan pertumbuhan kelas menengah yang cukup besar, sehingga dibutuhkan
barang - barang konsumsi yang juga besar, yang ternyata sebagian besar juga impor.
Subsidi BBM inilah juga yang menjadi bom waktu perekonomian Indonesia.
Rezim suku bunga tinggi ini diyakini
oleh para pelaku perbankan bisa berjalan dalam kurun yang relatif lama hingga
awal tahun 2015, karena faktor dalam negeri dan global. Saat ini bank-bank
mengambil langkah menaikkan suku bunga tinggi simpanan. Bahkan, sebagian besar
bank menetapkan suku bunga deposito di atas suku bunga penjaminan dari Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Langkah berjaga-jaga agar likuiditasnya tetap aman
dengan menaikkan suku bunga tentu tidak salah.
Kewaspadaan yang perlu dilakukan
dalam rezim suku bunga tinggi ini, terutama setelah melihat faktor dalam negeri
dan faktor global terutama membaiknya ekonomi AS, maka perbankan Indonesia
harus tetap menjaga likuiditas yang memadai. Pasalnya, pelarian dana-dana
Negeri Paman Sam akibat membaiknya ekonominya akan berpengaruh pada likuiditas
dolar di dalam negeri. Jika hal itu terjadi, dapat dibaca maka BI akan
menaikkan suku bunga.
Untuk itu, bagi perbankan tidak ada
cara lain adalah tetap menjaga likuiditasnya dan mengerem nafsu pemberian
kredit yang saat ini posisi loan to deposit rasio (LDR) bank-bank juga sudah
relatif tinggi, bahkan sejumlah bank sudah di atas 90%. Hal yang tak kalah
pentingnya adalah menjaga kolektibilitas kredit agar tidak bermasalah.
Kewaspadaan yang tinggi juga dilakukan terhadap nilai tukar rupiah. Posisi
rupiah sepertinya akan didorong oleh BI dengan menuju keseimbangan baru.
Itu artinya nilai tukar rupiah
sepertinya akan dibiarkan tanpa intervensi yang berlebihan dan lebih memilih
kebijakan suku bunga tinggi. Langkah menjaga likuiditas, menjaga NPL, dan
mewaspadai nilai tukar rupiah menurut pengalaman adalah langkah paling
tradisional terbaik selama ini. Bank-bank yang menjaga tiga hal itu dalam
kondisi rezim suku bunga tinggi akan lebih berkembang. Sementara sektor riil
langkahnya adalah melakukan konsolidasi dan mengurangi pinjaman bank berbunga
tinggi. Dan, yang paling penting BI tidak overdosis menaikkan suku bunga.
Perumusan Masalah
1. Faktor Terjadinya Tingkat Suku Bunga yang Berlebihan
Referensi : http://www.koran-sindo.com/node/362987
Referensi : http://www.koran-sindo.com/node/362987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar