Sabtu, 11 Oktober 2014

Faktor Terjadinya Tingkat Suku Bunga yang Berlebihan



Nama     : M.Riky Noerifahmi
Kelas      : 4EB21
NPM      : 29211248

Pendahuluan
    Perkembangan ekonomi mengalami perubahan yang cukup besar. Bank kini merupakan lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menjadi penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, giro dan deposito. Dengan kata lain bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya memberikan kredit serta jasa-jasa dalam setiap kegiatan pembayaran dan peredaran uang.
Bunga merupakan hal penting bagi suatu bank dalam penarikan tabungan dan penyaluran kreditnya. Penarikan tabungan dan pemberian kredit selalu dihubungkan dengan tingkat suku bunganya. Bunga bagi bank bisa menjadi biaya (cost of fund) yang harus dibayarkan kepada penabung, tetapi di lain pihak dapat juga merupakan pendapatan bank yang diterima dari debitor karena kredit yang diberikannya.
Besarnya bunga ini adalah selisih yang dikembalikan dengan yang dipinjam. Misalnya dipinjam dari bank sebesar Rp 500.000,00 untuk kemudian dikembalikan sebesar Rp 525.000,00. Jadi, besarnya bunga adalah Rp 525.000,00– RP 500.000,00 = Rp 25.000,00 atau sebesar 5%.
Dalam dunia perbankan sering kali kita mendapat masalah atau keluhan oleh nasabah mengenai tingkat bunga yang berlebihan atau tergolong tinggi. Faktor yang mempengaruhi suku bunga ini disebabkan oleh Bank Indonesia sedang menerapkan kebijakan rezim suku bunga tinggi. Sinyal itu terlihat jelas ketika BI dengan lebih cepat menaikkan suku bunga hingga 175 basis poin menjadi 7,5%. Bahkan, respons pasar pun sepertinya sangat berlebihan, karena bank-bank merespons dengan cepat dengan menaikkan suku bunga simpanan yang lebih tinggi.
Bank-bank percaya bahwa BI melakukan tight money policy, kebijakan uang ketat. Kebijakan BI dibawah Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo adalah menggunakan kenaikan suku bunga, hal yang berbeda dibandingkan ketika zaman Darmin Nasution yang menginginkan suku bunga rendah dengan melakukan intervensi. Lihat saja, belakangan ini BI lebih membiarkan rupiah menuju keseimbangan baru dengan menaikkan suku bunga dan tanpa melakukan banyak intervensi. Sementara kebijakan sebelumnya lebih banyak menggunakan masuk ke pasar agar rupiah tidak bergerak liar dan membiarkan suku bunga rendah.
Namun, kebijakan BI dengan menaikkan suku bunga ini tidak salah obat, karena dengan kebijakan suku bunga tinggi ini efeknya adalah dengan melakukan pengereman kredit, sehingga tidak dibuat spekulasi dan sekaligus secara tidak langsung dapat membatasi impor yang selama ini juga menjadi beban berat neraca perdagangan Indonesia. Bank Indonesia berkeyakinan dengan membatasi kredit secara tidak langsung membatasi impor, karena semakin besar pertumbuhan ekonomi ternyata juga membuat posisi impor juga tinggi.
 Jadi, kebijakan ini dilakukan untuk mengerem laju pertumbuhan dan pada akhirnya juga akan memperkecil defisit transaksi perdagangan yang pada akhirnya mengurangi defisit transaksi berjalan. Hanya, yang perlu diwaspadai adalah masih tetap tingginya impor bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Impor BBM sepertinya sulit dibatasi karena sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah yang cukup besar, sehingga dibutuhkan barang - barang konsumsi yang juga besar, yang ternyata sebagian besar juga impor. Subsidi BBM inilah juga yang menjadi bom waktu perekonomian Indonesia.
 Rezim suku bunga tinggi ini diyakini oleh para pelaku perbankan bisa berjalan dalam kurun yang relatif lama hingga awal tahun 2015, karena faktor dalam negeri dan global. Saat ini bank-bank mengambil langkah menaikkan suku bunga tinggi simpanan. Bahkan, sebagian besar bank menetapkan suku bunga deposito di atas suku bunga penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah berjaga-jaga agar likuiditasnya tetap aman dengan menaikkan suku bunga tentu tidak salah.
Kewaspadaan yang perlu dilakukan dalam rezim suku bunga tinggi ini, terutama setelah melihat faktor dalam negeri dan faktor global terutama membaiknya ekonomi AS, maka perbankan Indonesia harus tetap menjaga likuiditas yang memadai. Pasalnya, pelarian dana-dana Negeri Paman Sam akibat membaiknya ekonominya akan berpengaruh pada likuiditas dolar di dalam negeri. Jika hal itu terjadi, dapat dibaca maka BI akan menaikkan suku bunga.
 Untuk itu, bagi perbankan tidak ada cara lain adalah tetap menjaga likuiditasnya dan mengerem nafsu pemberian kredit yang saat ini posisi loan to deposit rasio (LDR) bank-bank juga sudah relatif tinggi, bahkan sejumlah bank sudah di atas 90%. Hal yang tak kalah pentingnya adalah menjaga kolektibilitas kredit agar tidak bermasalah. Kewaspadaan yang tinggi juga dilakukan terhadap nilai tukar rupiah. Posisi rupiah sepertinya akan didorong oleh BI dengan menuju keseimbangan baru.
 Itu artinya nilai tukar rupiah sepertinya akan dibiarkan tanpa intervensi yang berlebihan dan lebih memilih kebijakan suku bunga tinggi. Langkah menjaga likuiditas, menjaga NPL, dan mewaspadai nilai tukar rupiah menurut pengalaman adalah langkah paling tradisional terbaik selama ini. Bank-bank yang menjaga tiga hal itu dalam kondisi rezim suku bunga tinggi akan lebih berkembang. Sementara sektor riil langkahnya adalah melakukan konsolidasi dan mengurangi pinjaman bank berbunga tinggi. Dan, yang paling penting BI tidak overdosis menaikkan suku bunga.

Perumusan Masalah 
1. Faktor Terjadinya Tingkat Suku Bunga yang Berlebihan

Referensi :  http://www.koran-sindo.com/node/362987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar